Agen bola Piala Dunia

Silakan Hubungi Cs kami untuk informasi lebih lanjut.

SELAMAT DATANG DI BLOG PREDIKSI CERIA4D

Blog Prediksi Resmi dari BO CERIA4D

Lomba Tebak 3D -2Line Bersama CERIA4D

bagi yang ingin mengikuti Silakan bergabung di Group Facebook kami "DONATAN4D Agent Togel Terpercaya"

Link WAP Donatan4D

Kini Hadir Versi Handphone Untuk memudahkan Para Member melakukan Betting dimana saja dan kapan saja.

Donatan4D bandar Togel Online Terpercaya

Silakan Hubungi Kami melalui Kontak di Atas

Thursday, December 30, 2021

'Manusia Naga' Julukan Spesies Manusia Baru yang Ditemukan di Tiongkok


Para arkeolog menetapkan spesies manusia baru yang dinamai homo longi, yang dalam bahasa Latin berarti "Manusia Naga". Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal The Innovation pada Jumat, 25 Juni 2021.

Nama dari spesies baru ini diambil dari nama Long Jiang, yang berarti "Sungai Naga". Nama ini merupakan julukan dari provinsi Heilongjiang di Tiongkok, tempat fosil ini ditemukan.

Penetapan ini disahkan berdasarkan penelitian terhadap fosil yang ditemukan 88 tahun yang lalu. Pada tahun 1933, seorang pria Tiongkok menemukan sebuah tulang kepala manusia saat membangun jembatan di Harbin, Manchuria. Rupa dari tulang ini membuat sang pekerja mengetahui bahwa ia telah menemukan fosil manusia purba.

Fosil itu tidak ia berikan kepada Jepang yang saat itu memerintah Manchuria. Ia menyembunyikan fosil itu di sebuah sumur tua, berharap untuk menggalinya lagi suatu saat nanti.

Namun setelah Tiongkok mengklaim kembali Manchuria, ia kembali bekerja sebagai petani untuk menyembunyikan bahwa ia pernah bekerja untuk Jepang. Fosil tersebut tetap tersembunyi dengan aman seiring perubahan rezim di Tiongkok.

Barulah sebelum kematiannya pada 2018, ia membuka rahasia itu kepada keluarganya. Cucunya kemudian menemukan kembali fosil itu dan menyumbangkannya ke Geoscience Museum of Hebei. Keluarganya tidak membuka identitas pria tersebut.

"Fosil Harbin merupakan salah satu fosil kepala manusia paling utuh di dunia," kata Qiang Ji, profesor paleontologi Hebei GEO University, kepada EurekAlert!. "Fosil ini memiliki sejumlah detail rupa yang penting untuk memahami asal muasal Homo sapiens," lanjutnya.

Para arkeolog kemudian melakukan penelitian terhadap fosil ini selama tiga tahun. Dalam penelitian tersebut, mereka mendapati sejumlah temuan menarik.

Namun setelah Tiongkok mengklaim kembali Manchuria, ia kembali bekerja sebagai petani untuk menyembunyikan bahwa ia pernah bekerja untuk Jepang. Fosil tersebut tetap tersembunyi dengan aman seiring perubahan rezim di Tiongkok.

Barulah sebelum kematiannya pada 2018, ia membuka rahasia itu kepada keluarganya. Cucunya kemudian menemukan kembali fosil itu dan menyumbangkannya ke Geoscience Museum of Hebei. Keluarganya tidak membuka identitas pria tersebut.

"Fosil Harbin merupakan salah satu fosil kepala manusia paling utuh di dunia," kata Qiang Ji, profesor paleontologi Hebei GEO University, kepada EurekAlert!. "Fosil ini memiliki sejumlah detail rupa yang penting untuk memahami asal muasal Homo sapiens," lanjutnya.

Para arkeolog kemudian melakukan penelitian terhadap fosil ini selama tiga tahun. Dalam penelitian tersebut, mereka mendapati sejumlah temuan menarik.


Fosil kepala ini memiliki ukuran yang sangat besar. Berdasarkan penelitian arkeolog, kepala Homo longi memiliki kapasitas otak sekitar 1.420 mililiter. Kapasitas tersebut tidak jauh berbeda dengan Neanderthal dan manusia modern.

Berdasarkan studi morfologi, diketahui bahwa Manusia Naga berumur sekitar 50 tahun saat kematiannya. Spesies manusia ini memiliki rongga mata berbentuk bujur sangkar, alis yang sangat menonjol, serta hidung yang besar. Di bagian rahang, mereka memiliki gigi yang besar dan mulut yang sangat lebar.

Diperkirakan adaptasi seperti ini membantu mereka untuk mengambil napas yang panjang. Hal tersebut sangat membantu dalam berburu dan bertahan hidup di musim dingin yang menggigit.

"Dari analisis kami, fosil Harbin lebih menyerupai Homo sapiens daripada Neanderthal," kata Chris Stringer, antropolog Natural History Museum, kepada AFP. "Dengan kata lain, [fosil] Harbin memiliki kekerabatan lebih dekat dengan kita.
Peneliti juga memperkirakan bahwa Manusia Naga hidup dalam sebuah komunitas kecil, di sebuah hutan yang dekat dengan sungai. "Mereka kemungkinan merupakan masyarakat berburu," kata Stringer.

Hal tersebut juga diamini oleh Xijun Ni, profesor primatologi dan paleoantropologi Hebei GEO University. "Seperti Homo sapiens, mereka berburu mamalia dan burung, serta mengumpulkan buah-buahan dan sayur-mayur," katanya, "dan juga kemungkinan menangkap ikan."


Dari penanggalan uranium, fosil ini diperkirakan berasal dari 146.000 tahun yang lalu, atau di zaman Pleistosen Tengah. Para peneliti berhipotesis bahwa mereka juga berinteraksi dengan manusia-manusia purba lainnya, termasuk Homo sapiens.

Akan tetapi, penetapan Manusia Naga sebagai spesies baru butuh penelitian lebih jauh. Disadur dari The New York Times, beberapa peneliti bahkan masih memperdebatkan apakah Manusia Naga dapat dikelompokkan sebagai spesies baru. Dibutuhkan analisis genetik terhadap DNA Manusia Naga untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

 

Wednesday, December 29, 2021

Stalagmit di Gua Iran Ungkap Kejatuhan Kekaisaran Mesopotamia Pertama

Sekitar 4.200 tahun lalu, kekaisaran pertama Mesopotamia, Akkadian, runtuh. Mengakibatkan transformasi besar-besaran di Mesir dan Lembah Indus, dua peradaban yang cukup baik di masa itu.

Peradaban bangkit dan runtuh karena berbagai alasan. Namun, penyebab jatuhnya Kekaisaran Akkadian masih kontroversial. Dilihat dari waktunya, beberapa sejarawan memperkirakan penyebabnya adalah perubahan iklim.

Di tengah-tengah era Holosen, sebenarnya suhu termasuk stabil dan tidak ada peningkatan aktivitas gunung berapi atau perubahan pada sinar matahari.

Namun, ketika sekelompok peneliti yang dipimpin Dr Stacy Caroline dari University Oxford, mempelajari stalagmit di gua Gol-e-Zard, Iran, yang terbentuk 5.200 hingga 3.700 tahun lalu, mereka melihat sesuatu.

Menurut laporan yang dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences, terdapat lonjakan jumlah magnesium atau kalsium pada 4.510 hingga 4.260 tahun lalu. Ini menunjukkan pertumbuhan yang lambat dan perubahan pada isotop oksigen bebatuan di sana. Perubahan tersebut berlangsung 110 hingga 290 tahun, sebelum stalagmit kembali ke level sebelumnya.

Industri pertambangan kuno biasanya meninggalkan jejaknya di planet ini, tetapi peneliti belum mengetahui mekanisme apa yang digunakan bangsa Akkadia sehingga bisa memberikan peninggalan pada gua seperti yang terlihat saat ini.

Perubahan komposisi stalagmit tampaknya merupakan hasil dari peningkatan debu yang jatuh di pegunungan–konsekuensi dari kondisi yang lebih kering ke arah barat.

Di masa kini, tahun-tahun terkering di gurun Suriah dan Irak juga dikaitkan dengan peningkatan endapan debu di Tehran, 50 kilometer dari gua Gol-e-Zard.

Pertumbuhan stalagmit yang lambat juga menjadi tanda wilayah lokal yang lebih kering.

Menurut para peneliti, kekeringan datang secara tiba-tiba. Alasan inilah yang kemudian mendorong penduduk Mesopotamia untuk meninggalkan rumah mereka dan pindah ke wilayah yang lebih baik.

Saat Kita Mati, Beberapa Gen di Otak Kita Malah Hidup Seperti Zombi

 kita telah mengetahui bahwa pendengaran adalah indera terakhir yang bekerja. Bisa dibayangkan ketika kematian Anda hanya bisa mendengar sanak sekitar menangis mengetahui kepergian Anda, tapi tak dapat merespon mereka lewat gerak atau ucapan karena berbagai organ sudah tidak berfungsi.

Meski demikian, masih ada bagian dari tubuh kita termasuk sel di otak yang masih aktif. Penelitian mengungkap bahwa ada sel yang justru aktivitasnya meningkat dengan proporsi besar, setelah seseorang mengalami kematian.

Penelitian itu diterbitkan di Scientific Reports pada 23 Maret 2021 yang dikerjakan oleh para peneliti dari University of Illinois Chicago (UIC). Temuan itu didapati setelah mereka menganalisis perilaku gen dalam jaringan otak segar yang dikumpulkan selama operasi otak rutin.

Gen itu ada pada sel inflamasi yang disebut juga sebagai glial. Sel ini berfungsi untuk memelihara, menjaga, mendukung dan sumber nutrisi self saraf kita, bahkan menjadi penyusun 40 persen volume otak dan medulla spinalis. Ketika mati, dalam analisis para peneliti, sel ini tumbuh dan memunculkan pelengkap seperti lengan panjang selama berjam-jam setelah kematian.

"Kalau sel glial membesar setelah kematian itu tidak mengejutkan, mengingat mereka mengalami peradangan dan tugas mereka adalah membersihkan hal-hal setelah cederak otak seperti kekurangan oksigen atau stroke," ujar Jeffrey Loeb, salah satu penulis studi dan seorang neurolog di UIC College of Medicine di Science Daily. "Sebagian besar penelitian berasumsi bahwa segala sesuatu di otak berhenti ketika jantung berhenti berdetak, tetapi tidak demikian."

Loeb dan tim menemukan bahwa sekitar 80 persen dari gen yang dianalisis tetap relatif stabil dalam 24 jam, dengan ekspresi gen yang tidak banyak berubah. Gen tersebut adalah yang menyediakan fungsi seluler dan umum digunakan dalam studi terkait kualitas jaringan.

Kemudian ada gen lain adalah yang biasa hadir dalam neuron. Perannya sangat kompleks dalam aktivitas otak manusia seperti memori, berpikir, dan kejang. Tetapi gen itu terdegradasi dalam beberapa jam setelah kematian.

Terakhir ada kelompok ketiga yang disebut para peneliti sebagai 'gen zombi'. Aktivitasnya meningkat pada saat bersamaan dengan gen saraf menurun, dengan pola perubahan post-mortem memuncak sekitar 12 jam.

Penelitian ini sangat didasari jaringan otak manusia postmortem. Sebenarnya, tujuan utamanyalah yang menjadi signifikan, kata Loeb, yakni mencari perawatan dan penyembuhan yang potensial pada gangguan seperti autisme, skizofrenia, dan penyakit Alzheimer. Itu sebabnya gen yang ditemukan yang merupakan bagian penting untuk mempelajari gangguan seperti ini.

Awalnya, Loeb dan tim tidak memperhitungkan ekspresi gen post-mortem atau aktivitas sel. Tetapi mereka mendapati adanya pola global ekspresi gen dalam jaringan otak manusia yang baru, tidak cocok dengan ekspresi gen otak postmortem pada yang berbagai pengidap gangguan neurologis.

Maka, para peneliti menjalankan eksperimen lewat simulasi kematian 24 jam pertama untuk melihat ekspresi semua gen manusia, "dari kumpulan besar jaringan otak yang baru dikumpulkan, lalu dibiarkan pada suhu ruang untuk mereplikasi postmortem interval," jelasnya.

Data simulasi itu didapatkan Loeb dari bank jaringan otak manusia dari pasien penyandang gangguan neurologis. Kumpulan data ini tentunya telah mendapatkan persetujuan untuk dikumpulkan dan disimpan baik setelah meninggal, atau selama operasi perawatan standar.

Misal, pada suatu operasi pengobatan epilepsi, jaringan otak akan diangkat untuk menghilangkan kejang-kejang. Hanya sebagian jaringan ini yang digunakan dalam analisis Loeb dan tim, karena tidak semuanya diperlukan sehingga perlu dipilih.

"Temuan kami akan diperlukan untuk menginterpretasikan penelitian pada jaringan otak manusia. Kami hanya belum menghitung perubahan ini sampai sekarang," lanjutnya.

"Kabar baik dari temuan kami adalah bahwa kita sekrang tahu gen dan jenis sel mana yang stabil, mana yang terdegradasi, dan mana yang meningkat seiring waktu sehingga hasil dari studi otak postmortem dapat dipahami dengan lebih baik."

Dengan demikian, saran Loeb, para peneliti dalam mengamati jaringan otak perlu memperhitungkan perubahahan genetik dan seluler ini, dan mengurangi interval postmortem sebanyak mungkin.

Tuesday, December 28, 2021

Studi: Buaya Laut Purba Memiliki Evolusi yang Sama dengan Paus


Sebuah penelitian mengungkapkan garis keturunan pada kerabat buaya zaman prasejarah--predator ganas yang juga perenang andal. Modifikasi evolusi pada dinosaurus laut ini ternyata juga terdapat pada paus. Namun, buaya melakukannya lebih dini, sekitar 100 juta tahun sebelum paus.

Penelitian tersebut merinci perubahan dalam sistem vestibular telinga bagian dalam-- yang bertanggung jawab atas keseimbangan buaya laut yang disebut thalattosuchians. Perenang andal ini muncul pada periode Jurassic sekitar 182 juta tahun lalu dan punah pada Periode Cretaceous sekitar 125 juta tahun lalu.

Seperti paus, thalattosuchian mengalami perubahan besar pada kerangkanya ketika mereka berevolusi dari rupa sang nenek moyang yang tinggal di darat. Meliputi perubahan anggota badan menjadi sirip, merampingkan tubuh dan mengembangkan ekor yang membantunya agar berenang lebih kuat.

Mereka juga mengubah sistem sensor, sebagaimana dibuktikan oleh perubahan telinga bagian dalam yang terungkap dalam pindai CAT tengkorak fosil thalattosuchian. Tiga saluran melingkar di telinga bagian dalam menjadi jauh lebih gemuk, tapi juga lebih kecil dibandingkan dengan yang ada di kerabat terestrial mereka.


Paus, yang pertama kali muncul sekitar 50 juta tahun yang lalu, memiliki anatomi telinga bagian dalam serupa, yang berevolusi secara independen dari thalattosuchian.

"Perubahan dalam bentuk kanal lebih cocok untuk kehidupan di lautan. Hewan membutuhkan keseimbangan yang sangat sensitif untuk mengatasi gravitasi dan lanskap kompleks," papar Julia Schwab, mahasiswa doktoral geosains University of Edinburgh dan penulis utama studi yang diterbitkan dalam jurnal Proceeding of National Academy of Sciences.

Kesamaan telinga bagian dalam paus dan thalattosuchian adalah contoh dari fenomena yang disebut evolusi konvergen di mana organisme yang berbeda secara independen berevolusi serupa--seperti sayap burung, kelelawar dan reptil terbang yang punah yang disebut pterosaurus--untuk beradaptasi dengan lingkungan yang sama.

Thalattosuchian bisa mencapai panjang sekitar 33 kaki (10 meter). Beberapa Teleosaurus dan Machimosaurus yang memakan ikan di semi-akuatik, masih terlihat seperti buaya. Lainnya seperti Metriorhynchus dan Plesiosuchus sepenuhnya menyesuaikan untuk laut lepas, berburu ikan serta sepupu cumi-cumi dan bahkan reptil laut lainnya.

Mereka tinggal bersama reptil laut lainnya, beberapa bahkan lebih besar. Studi sebelumnya menunjukkan beberapa kelompok reptil laut lainnya memiliki adaptasi telinga bagian dalam yang serupa.

"Thalattosuchian adalah salah satu kelompok hewan paling aneh yang pernah hidup dan mengejutkan bagi saya karena mereka tidak mendapat cukup banyak perhatian," kata ahli paleontologi dan penulis penelitian University of Edinburgh Steve Brusatte.

"Yang benar-benar rapi adalah karena kita dapat mengatakan thalattosuchian mulai mengubah kerangka mereka terlebih dahulu--anggota badan menjadi sirip, ekor terkelupas, dan lain-lain---yang memungkinkan mereka untuk pindah ke air dan menjadi perenang yang lebih baik, dan hanya kemudian telinga mereka berubah, karena indra mereka sistem harus berevolusi untuk mengikuti," paparnya.



 

Sunday, December 26, 2021

Mengapa Letusan Tambora Menjadi yang Paling Mematikan Dalam Sejarah?


Pada 1815, Gunung Tambora di Sumbawa meletus. Para sejarawan menganggapnya sebagai letusan gunung berapi dengan dampak langsung yang paling dahsyat: hampir 100 ribu orang tewas setelahnya.

Menurut Gillen D’Arcy Wood, penulis buku Tambora: The Eruption That Changed the World, selama beberapa tahun berikutnya, korban meninggal semakin banyak akibat efek sekunder yang menyebar ke seluruh dunia.

“Apa yang terjadi setelah Tambora meletus adalah tiga tahun perubahan iklim,” kata Wood.

“Dunia semakin dingin dan pola cuaca berubah. Terjadi kegagalan panen dan kelaparan, mulai dari Asia, Amerika Serikat, hingga Eropa,” tambahnya.

Gunung berapi di dekat garis khatulistiwa dapat menyebabkan perubahan cuaca secara global apabila letusan mereka cukup kuat untuk melepaskan gas ke stratosfer.

Gas tersebut terperangkap karena tidak bisa dibawa oleh hujan. Ia lalu melintasi garis khatulistiwa dan menyebar hingga ke kutub hingga akhirnya mengurangi jumlah panas yang melewati stratosfer dari matahari.

Ini tidak hanya mempengaruhi cuaca, tapi juga ekosistem sekitar kita. Dengan letusan Tambora, suhu menjadi lebih dingin. Menyebabkan penurunan jumlah curah hujan, gagal panen, dan kelaparan massal di berbagai belahan di dunia.  

Sulit mengetahui berapa banyak orang yang meninggal akibat kelaparan, namun “korban tewas mungkin sekitar satu juta orang setelah letusan terjadi,” kata Wood.

“Jika ingin menambah fakta bahwa Tambora juga menyebarkan wabah kolera….maka jumlah kematian menjadi puluhan juta.”

Kolera sudah ada sebelumnya, tapi suhu semakin dingin yang disebabkan oleh erupsi Tambora membuat bakteri baru berkembang di Teluk Benggala. Hanya sedikit orang yang memiliki kekebalan terhadap kolera hingga akhirnya menyebar ke seluruh dunia.

Apakah ada letusan gunung berapi yang korbannya lebih banyak dari Tambora? Hingga saat ini, sejarawan setuju bahwa Tambora menyebabkan kematian paling cepat.

Sebagai contoh, erupsi Krakatau yang juga terjadi di Indonesia pada 1883 lebih terkenal dibanding Tambora karena berbarengan dengan munculnya ‘media baru’. Peristiwa itu tersebar melalui telegram dan fotografi. Namun, Wood mengatakan, letusannya lebih lemah dibanding Tambora.

Meskipun letusan Gunung Vesuvius di Pompeii pada 79 A.D menjadi salah satu erupsi paling terkenal, korban tewasnya yang berjumlah 2000 orang hanya sebagian kecil dari Tambora.

oseph Manning, profesor sejarah di Yale University, mengatakan, di masa sekarang ini, efek setelah letusan lebih berbahaya dari dampak langsungnya. Untungnya, dengan kemajuan teknologi, kita bisa memprediksi waktu erupsi dan memiliki waktu untuk melakukan evakuasi serta tindakan pencegahan.

Misalnya, ketika jadwal penerbangan di Bali dibatalkan untuk mengantisipasi letusan Gunung Agung. Atau saat pemerinta Filipina mengevakuasi penduduk di sekitar Gunung Mayon sebelum erupsi besar.

“Mungkin ada risiko kematian dari letusan gunung berapi. Namun, selain itu, ada juga risiko iklim dan kekeringan di seluruh dunia. Terutama pada wilayah monsoon seperti India, Asia Timur, dan Afrika Timur,” papar Manning.

Menurutnya, banyak orang belum menyadari dampak letusan gunung berapi selain kematian. “Tidak hanya menewaskan orang secara langsung, erupsi gunung api juga berdampak pada ekosistem kita beberapa tahun ke depan,” pungkasnya.

 

Friday, December 24, 2021

Ditemukan di Wilayah "Akhir Dunia", Kawah Ini Masih Misterius



Helikopter yang terbang di atas wilayah Siberia bernama Yaman Peninsula, atau yang sering disebut sebagai "Akhir Dunia", merekam adanya kawah misterius selebar 79 meter.

Semula, ada anggapan skeptis yang mengatakan bahwa foto kawah misterius di Siberia itu palsu. Hingga akhirnya pihak Pemerintah Rusia mengonfirmasi keberadaannya dan mengirim tim untuk menyelidikinya. Ilmuwan dari Center for the Study of the Arctic dan Crysophere Institute, Russian Academy of Sciences, berencana mengambil sampel dari wilayah sekitar kawah itu.

Apakah kawah itu adalah hasil tumbukan meteorit? Juru bicara dari Kementerian Kedaruratan di Rusia menyatakan, "Kita bisa mengatakan bahwa itu pasti bukan meteorit."

Diduga, kawah tersebut adalah pingo. Pingo atau hydrolaccolith adalah fenomena di mana es mendesak ke permukaan, tetapi akhirnya leleh dan meninggalkan kawah.

Sejumlah pengamat mengatakan bahwa kawah itu berlokasi kurang dari 32 kilometer dari wilayah kaya gas terbesar di Rusia. Ledakan gas di dalam tanah diduga merupakan faktor yang membentuk pingo itu.

"Ini fenomena yang sangat mengagumkan," kata Chris Fogwill, pakar kutub dari Universitas New South Wales, Australia, seperti dikutip The Slideshow, Kamis (17/6).

"Ini pastinya adalah contoh ekstrem dari pingo, dan apakah memang ada interaksi dengan gas di area itu, itulah pertanyaan yang bisa dijawab dengan menyelidiki ke sana," imbuhnya.

Thursday, December 23, 2021

Jejak Kaki Misterius di Tanzania, Diduga Milik Nenek Moyang Manusia


Jejak kaki yang ditemukan oleh Mary Leakey pada tahun 1978 di situs Laetoli G, Tanzania, merupakan bukti nyata bahwa nenek moyang manusia bisa berjalan tegak. Jejak kaki yang berusia 3,66 juta tahun tersebut dimiliki oleh Australopithecus afarensis.

Namun, jejak kaki situs Laetoli G bukan satu-satunya jejak kaki kuno yang ditemukan peneliti pada waktu itu. Dilansir dari CNN, ada jejak kaki lainnya yang ditemukan di situs Laetoli A yang berjarak 1,6 kilometer dari situs Laetoli G.

Pada awalnya para arkeolog mengaitkan jejak kaki tersebut kepunyaan seekor beruang muda yang berjalan tegak. Dikarenakan jejak kakinya sangat berbeda dari jejak yang ditinggalkan Australopithecus afarensis. Studi ini telah dipublikasikan di Nature dengan judul Footprint evidence of early hominin locomotor diversity at Laetoli, Tanzania pada 1 Desember 2021.

Jeremy DeSilva, seorang profesor di departemen antropologi Dartmouth College dan rekan penulis penelitian mengatakan jejak kaki ini menunjukkan bahwa evolusi berjalan tegak lebih rumit dan lebih menarik daripada yang diduga sebelumnya. Para peneliti sekarang mempercayai jejak kaki situs Laetoli A mungkin milik nenek moyang manusia yang berbeda dan sama-sama berjalan dengan tegak

"Setidaknya ada dua hominin berjalan dengan cara yang berbeda, dengan bentuk kaki yang berbeda saat ini dalam sejarah evolusi kita, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan berjalan seperti manusia kurang linier daripada yang dibayangkan banyak orang," kata Jeremy DeSilva kepada CNN.

Laetoli adalah padang rumput di barat laut Kawah Ngorongoro di Tanzania utara. Hujan musiman telah menyapu bersih sedimen purba, memperlihatkan lapisan abu vulkanik yang mengeras berusia 3,66 juta tahun. Menurut DeSilva lapisan abu vulkanik mempertahankan ribuan jejak kaki milik kijang purba, gajah, kucing besar, burung, dan serangga hingga nenek moyang manusia.

"Situs Laetoli A tidak pernah sepenuhnya digali dan segera ditutup setelah jejak kaki ditemukan oleh ahli paleontologi Mary Leakey pada tahun 1977 atau 1978," ujarnya

Tidak seperti jejak kaki yang sekarang terkenal di situs Laetoli G, jejak kaki di situs A memiliki bentuk yang tidak biasa. Jejak kaki menunjukkan gerakan berjalan tegak yang memiliki cara melangkah silang yang aneh, di mana setiap kaki bergerak di atas garis tengah tubuh untuk mendarat di depan kaki lainnya, kata Stephanie Melillo yang tidak terlibat dalam penelitian. Beliau merupakan paleoantropolog dan peneliti postdoktoral di departemen evolusi manusia di Max Plank Institute for Evolutionary Anthropology Leipzig, Jerman.

Sejauh ini hanya ada dua penjelasan terkait dengan jejak kaki tersebut. Jejak kaki merupakan jejak yang ditinggalkan beruang atau jejak kaki tersebut dimiliki oleh hominin yang berjalan dengan aneh.

"Para ilmuwan tidak yakin dengan kedua penjelasan tersebut. Pada akhirnya, jejak kaki situs Laetoli A lebih mudah dilupakan daripada dijelaskan," kata Melillo dalam komentar pada penelitian yang diterbitkan di Nature.


DeSilva mengatakan mereka memutuskan untuk menggali kembali situs tersebut setelah dia dan rekan-rekannya mengumpulkan data jejak kaki dari manusia, simpanse, dan beruang. Namun, itu adalah tantangan untuk memeriksa kembali lima jejak kaki.

"Mary Leakey membuat peta lokasi jejak kaki yang sangat detail. Dari petanya, kami dapat memperkirakan di mana jejak kaki seharusnya berada. Kami mulai menggali, berharap yang terbaik, tetapi malah khawatir bahwa hujan musiman selama empat puluh tahun telah menghilangkan jejak kaki," kata DeSilva melalui email.

"Tanahnya keras seperti semen dan butuh palu dan pahat untuk mencapai lapisan jejak kaki, yang kemudian perlu kami gali dengan hati-hati dengan sikat berbulu keras dan penekan lidah. Untungnya, jejak kaki itu terpelihara dengan baik."


Setelah mereka membuat katalog cetakan asli, mereka membandingkannya dengan cetakan milik beruang hitam (Ursus americanus), simpanse (Pan troglodytes) dan manusia modern (Homo sapiens).

Mereka juga memperoleh lebih dari 50 jam video beruang hitam liar. Kenyataannya, beruang berjalan dengan dua kaki kurang dari 1 persen waktu. Hal ini membuat beruang tidak mungkin meninggalkan jejak kaki misterius itu, terutama mengingat tidak ada jejak kaki yang ditemukan dari individu pemilik jejak kaki ini yang berjalan dengan empat kaki, kata para peneliti.

Lebih lanjut, DeSilva mengatakan bahwa ketika hewan berjalan dengan dua kaki, mereka tidak dapat menyeimbangkan tubuh mereka dengan satu kaki. Ini berarti mereka terhuyung-huyung saat bergerak maju, menghasilkan jejak kaki yang jauh satu sama lain, tidak seperti jejak kaki misterius yang ditemukan berdekatan.

Namun, pada awal evolusi manusia, perubahan posisi otot pinggul dan lutut nenek moyang kita memungkinkan hominin tegak untuk menyeimbangkan tubuh pada satu kaki secara bersamaan dan berjalan dalam garis lurus, tanpa terhuyung-huyung. Melillo setuju bahwa penggalian baru-baru ini telah mengungkapkan "kombinasi fitur diagnostik hominin."

Ibu jari kedua kaki memiliki panjang yang hampir serupa, jejak yang dibuat di tanah oleh ibu jari kaki sebelah kiri jauh lebih besar daripada yang dibuat oleh ibu jari kaki sebelah kanan dan tumitnya lebar," ujar Melillo.

"Tetap saja, jejak kaki situs A tidak seperti hominin lainnya. Jejak kaki itu anehnya lebar dan pendek, serta kaki yang bertanggung jawab atas jejak kaki ini mungkin memiliki ibu jari kaki yang mampu menggenggam seperti ibu jari kaki kera," tambah Melillo.

DeSilva mengatakan mereka perlu menemukan fosil untuk mengetahui lebih banyak tentang penampilan hominin ini. Namun, dia mengatakan bahwa ukuran kaki menunjukkan bahwa individu tersebut hanya sedikit lebih tinggi dari 0,9 meter.

Wednesday, December 22, 2021

Sains Terbaru: Planet Bayi di Kawasan 'Pembibitan Bintang' Awan Taurus


Sebuah planet bayi telah ditemukan melalui pengamatan yang dilakukan oleh tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh Universitas Hawai’i baru-baru ini. Planet bayi tersebut ditemukan di wilayah yang biasa dikenal sebagai ‘pembibitan’ bintang atau disebut Awan Taurus. Planet tersebut diberi nama 2M0437b.

Melalui pengamatan cahaya dari planet ini, dapat membantu para ilmuwan dalam mengungkap komposisinya, juga mungkin di mana dan bagaimana ia terbentuk dalam piringan gas dan debu yang telah lama menghilang di sekitar bintang induknya.

"Penemuan kebetulan ini menambah daftar elit planet yang dapat kita amati secara langsung dengan teleskop kita," kata Eric Gaidos, kepala penulis dan profesor di UH Mānoa dalam laporannya.

Para peneliti memperkirakan bahwa planet ini beberapa kali lebih besar dari Jupiter, dan terbentuk dengan bintangnya beberapa juta tahun yang lalu, sekitar waktu Kepulauan Hawaii utama pertama kali muncul di atas lautan. Planet ini sangat muda sehingga masih panas dari energi yang dilepaskan selama pembentukannya, dengan suhu yang mirip dengan lava yang meletus dari Gunung Kīlauea.

“Planet ini terbentuk dengan bintangnya sekitar beberapa juta tahun yang lalu. Dalam hal ukuran, itu beberapa kali lebih besar dari Jupiter. Ia masih sangat muda sehingga masih panas dari energi yang dilepaskan selama pembentukannya.” kata Gaidos.

Ribuan planet telah ditemukan di sekitar bintang lain, tetapi yang membedakan planet ini adalah planet ini baru terbentuk dan dapat diamati secara langsung. Planet yang bernama 2M0437b, bergabung dengan beberapa objek yang memajukan pemahaman kita tentang bagaimana planet terbentuk dan berubah seiring waktu, membantu menjelaskan asal usul Tata Surya dan Bumi. Penelitian mendalam tentang hal ini telah diterbitkan di Monthly Notices of the Royal Astronomical Society pada 16 Oktober 2021 yang diberi judul Zodiacal Exoplanets in Time (ZEIT) XII: A Directly-Imaged Planetary-Mass Companion to a Young Taurus M Dwarf Star.


Penemuan planet bayi ini awalnya dibuat pada tahun 2018 dengan menggunakan Teleskop Subaru di Maunakea oleh peneliti tamu UH Institute for Astronomy (IfA) Teruyuki Hirano. Kemudian, selama beberapa tahun terakhir, telah dipelajari juga dengan cermat menggunakan teleskop lain di Mauna.

Gaidos dan kolaboratornya menggunakan Observatorium Keck di Maunakea untuk memantau posisi bintang induk saat bergerak melintasi langit, memastikan bahwa planet 2M0437b benar-benar pendamping bintang, dan bukan objek yang lebih jauh. Pengamatan membutuhkan waktu tiga tahun karena bintang bergerak perlahan melintasi langit.

Planet dan bintang induknya terletak di "pembibitan" bintang yang disebut Awan Taurus. 2M0437b berada pada orbit yang jauh lebih luas daripada planet-planet di Tata Surya; pemisahannya saat ini sekitar seratus kali jarak Bumi-Matahari, membuatnya lebih mudah untuk diamati. Namun, optik "adaptif" yang canggih masih diperlukan untuk mengkompensasi distorsi gambar yang disebabkan oleh atmosfer Bumi. 

Melansir Tech Explorist, Michael Liu, rekan penulis dan seorang astronom di IfA, mengatakan, “Dua teleskop terbesar di dunia, teknologi optik adaptif, dan langit cerah Maunakea semuanya diperlukan untuk membuat penemuan ini. Kita semua menantikan lebih banyak penemuan seperti itu dan studi yang lebih rinci tentang planet-planet semacam itu dengan teknologi dan teleskop masa depan.”

Mengumpulkan lebih banyak penelitian mendalam tentang planet yang baru ditemukan mungkin tidak terlalu jauh.

“Pengamatan dengan teleskop luar angkasa seperti Hubble NASA dan Teleskop Luar Angkasa James Webb yang akan segera diluncurkan dapat mengidentifikasi gas di atmosfernya dan mengungkapkan apakah planet ini memiliki cakram pembentuk bulan atau tidak,” kata Gaidos.

Bintang yang mengorbit 2M0437b terlihat sangat redup, sehingga sulit untuk dilihat dengan mata telanjang, tetapi saat ini dari Hawaiʻi, planet muda dan bintang bayi lainnya di Awan Taurus terlihat hampir tepat di atas kepala pada jam-jam sebelum fajar, di utara bintang terang Hokuʻula ( Aldeberan) dan timur gugus bintang Makaliʻi (Pleiades).

Kontributor penelitian ini meliputi beberapa mahasiswa pascasarjana dan alumni UH: Rena Lee (mahasiswa pascasarjana ilmu bumi), Maïssa Salama (mahasiswa pascasarjana IfA), dan alumni IfA Zhoujian Zhang, Travis Berger, Sam Grunblatt dan Megan Ansdell.

Tuesday, December 21, 2021

Mengapa Aligator Amerika Mampu Hidup Jutaan Tahun?

 

Aligator Amerika dari rawa-rawa Florida yang kerap berkeliaran di lapangan golf mungkin jutaan tahun lebih tua dari yang kita kira. Begitu temuan terbaru para peneliti dari University of Florida.

Terlebih lagi, reptil bergigi tajam itu, secara biologis sangat identik dengan nenek moyang mereka jutaan tahun yang lalu—artinya, kerabat dekat buaya ini sudah hidup sejak jutaan tahun yang lalu. “Apa yang kita lihat pada 8 juta tahun yang lalu di Florida hampir sama dengan apa yang kita lihat hari ini,” ujar Evan Whiting, peneliti utama sekaligus seorang paleontolog vertebrata, melalui saluran telepon dari Gainesville.

Itu artinya, aligator telah berusia sekitar 8 juta tahun yang lalu—enam juta tahun lebih tua dibanding pandangan para ilmuwan sebelumnya.

Untuk mendapatkan kesimpulan itu, Whiting bersama timnya membandingkan reptil dengan nama latin Alligator mississippiensis itu dengan spesies-spesies aligator lainnya yang telah punah. Hasilnya, aligator amerika ternyata hanyalah variasi dari spesies tunggal yang sama—bukan berbeda spesies.

“Ini bukti keberhasilan evolusi mereka,” ujar Alex Hastings, kurator asisten paleontologi di Virginia Museum of Natural History. 

Lebih dari itu, aligator amerika terbukti sebagai spesies yang tahan banting. Mereka terbukti cukup tangguh menghadapi perubahan iklim alami yang terjadi selama jutaan tahun. Meski demikian, ketahanan tubuhnya itu sepertinya tak cukup berlaku di era modern ini. Buktinya, mereka termasuk spesies yang berisiko.

Sebagai informasi, reptil ini telah didaftarkan sebagai spesies yang terancam punah pada 1960—meskipun statusnya telah dipulihkan kembali pada 1980 berkat penangkaran habitat yang masif. “Dengan semakin meningkatnya permukaan laut, habitat aligator semakin menurun,” tambah Whiting.

Monday, December 20, 2021

Mengungkap Misteri Peluit Kematian Suku Aztec, Bunyinya Mengerikan


Ketika barang-barang kuburan berbentuk tengkorak yang aneh ditemukan oleh para arkeolog beberapa dekade yang lalu di sebuah kuil Aztec di Meksiko, mereka dianggap sebagai mainan atau ornamen baru, dan dikatalogkan dan disimpan di gudang.

Namun, bertahun-tahun kemudian, para ahli menemukan bahwa itu adalah peluit kematian menyeramkan yang membuat suara menusuk menyerupai jeritan manusia. Peluit ini digunakan suku Aztec kuno selama upacara, pengorbanan, atau selama pertempuran untuk menakuti musuh mereka.

Peluit Kematian Aztec Bukanlah Instrumen Umum

Dua peluit berongga berbentuk tengkorak ditemukan 20 tahun lalu di kuil dewa angin Ehecatl, di tangan kerangka laki-laki yang dikorbankan. Ketika peluit akhirnya ditiup, suara yang tercipta digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Peluit membuat suara "manusia melolong kesakitan, embusan angin siulan yang menakutkan, atau jeritan seribu mayat,” tulis MailOnline.

Roberto Velázquez Cabrera, seorang insinyur mesin dan pendiri Instituto Virtual de Investigación Tlapitzcalzin yang berbasis di Meksiko, telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menciptakan kembali instrumen pra-Columbus untuk memeriksa suara yang mereka buat.

Dia menulis di MexicoLore bahwa peluit kematian khususnya bukanlah instrumen umum. Peluit disediakan untuk pengorbanan, ditiup sebelum seorang korban dibunuh untuk membimbing jiwa ke alam baka atau untuk digunakan dalam pertempuran.

Mengapa Suku Aztec Menggunakan Peluit Kematian?



Beberapa sejarawan percaya bahwa suku Aztec biasa membunyikan peluit kematian untuk membantu perjalanan almarhum ke dunia bawah. Suku dikatakan telah menggunakan suara menakutkan sebagai perang psikologis, untuk menakut-nakuti musuh di awal pertempuran.

Jika peluit dikalungkan di leher prajurit Aztec dan kemudian digunakan untuk mengejutkan musuh mereka di awal pertempuran, efek psikologis pada musuh yang terdiri dari seratus peluit kematian yang berteriak serempak mungkin akan hebat, mengendurkan dan merusak tekad mereka.


Hipotesis lain menyatakan orang yang dikorbankan itu diberi peluit sehingga dia bisa meniupnya setelah dia meninggal dan menggunakan roh angin untuk membimbingnya dengan aman melalui dunia bawah.

Beberapa ahli berpikir orang dahulu menggunakan nada yang berbeda untuk mengirim otak ke keadaan kesadaran tertentu, atau bahkan untuk mengelola atau mengobati penyakit. Beberapa replika peluit yang dibuat oleh Cabrera membuat suara dan nada mencapai puncak pendengaran manusia, hampir tidak terdengar oleh kita.

"Pengalaman saya adalah bahwa setidaknya beberapa suara pra-Hispanik lebih merusak daripada positif, yang lain sangat menggugah trans. Tentunya, suara digunakan dalam semua jenis musik. kultus, seperti pengorbanan, tetapi juga dalam upacara penyembuhan,” kata ahli arkeologi musik pra-Hispanik, Arnd Adje Both.

Jenis pembuat kebisingan kuno lainnya telah ditemukan terbuat dari bahan yang berbeda, seperti bulu, tebu, tanah liat, dan kulit katak.

Roberto Velázquez Cabrera mencatat bahwa meskipun musik pra-Columbus telah hilang dari kita di zaman modern, suara peluit yang diciptakan kembali dapat digunakan untuk memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang musik kuno. Dia berkata, “Kami telah melihat budaya kuno kami seolah-olah mereka tuli dan bisu. Tapi saya pikir semua ini terkait erat dengan apa yang mereka lakukan, bagaimana mereka berpikir.”






 

Saturday, December 18, 2021

Mengapa Hanya Burung Yang Tersisa dari Era Kepunahan Dinosaurus?


Sekitar 66 juta tahun yang lalu, dinosaurus yang menguasai Bumi mendadak punah bersama dengan sepertiga kehidupan di Bumi. Para ilmuwan meyakini bahwa burung adalah satu-satunya dinosaurus yang tersisa di Bumi saat ini, mengapa?

Para ahli paleontologi percaya bahwa burung mampu bertahan hidup dari kepunahan sekitar 66 juta tahun yang lalu. Akan tetapi, hingga saat ini, ada banyak diskusi tentang apa yang memungkinkan burung bertahan dari kepunahan tersebut.

Penemuan fosil burung oleh para ilmuwan yang dipimpin oleh The University of Texas di Austin mungkin dapat menjawab hal tersebut. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan di jurnal peer-review Science Advance pada 30 Juli 2021.

Ketua peneliti Christopher Torres melakukan penelitian ini dan mendapatkan gelar Ph.D. dari UT College of Natural Sciences. Dia  mengatakan bahwa burung memiliki otak yang lebih kompleks daripada hewan yang diketahui selain mamalia. "Fosil baru ini akhirnya memungkinkan kami menguji gagasan bahwa otak itu memainkan peran utama dalam kelangsungan hidup mereka," katanya kepada UT News.

Nenek moyang burung hidup, menurut Torres, memiliki bentuk otak yang jauh berbeda dengan dinosaurus lain, termasuk burung purba lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan otak mungkin telah mempengaruhi kelangsungan hidup selama kepunahan massal yang memusnahkan semua dinosaurus non unggas. Otak burung purba telah jauh meninggalkan dinosaurus lainnya.

Torres menjelaskan, fosil tersebut berusia sekitar 70 juta tahun dan memiliki tengkorak yang hampir lengkap. Temuan tersebut termasuk kejadian langka dalam catatan fosil yang memungkinkan para ilmuwan membandingkan burung purba dengan burung yang hidup saat ini.

Fosil tersebut adalah spesimen baru seekor burung bernama Ichthyornis yang punah pada saat yang sama dengan dinosaurus non unggas lainnya. Ichthyornis hidup di tempat yang sekarang disebut Kansas selama Periode Kapur akhir.

Ichthyornis juga diketahui memiliki perpaduan karakteristik seperti dinosaurus unggas dan non unggas, termasuk rahang penuh gigi namun memiliki paruh. Tengkorak yang utuh membuat Torees dan kolaboratornya dapat mempelajari (bagian) otak lebih jauh.

Dengan menggunakan CT-imaging data, para peneliti merekonstruksi dan membuat replikasi 3D otaknya yang disebut endocast. Para peneliti kemudian membandingkan endocast itu dengan replikasi 3D dari kerabat dinosaurus yang lebih jauh dan burung di zaman sekarang.

Para peneliti menemukan bahwa otak Ichthyornis memiliki banyak kesamaan dengan dinosaurus non unggas daripada burung hidup. Secara khusus, belahan otak yang memiliki fungsi kognitif seperti bicara, berpikir dan emosi seperti pada manusia, jauh lebih besar pada burung yang hidup daripada di Ichthyornis.


Fosil tersebut adalah spesimen baru seekor burung bernama Ichthyornis yang punah pada saat yang sama dengan dinosaurus non unggas lainnya. Ichthyornis hidup di tempat yang sekarang disebut Kansas selama Periode Kapur akhir.

Ichthyornis juga diketahui memiliki perpaduan karakteristik seperti dinosaurus unggas dan non unggas, termasuk rahang penuh gigi namun memiliki paruh. Tengkorak yang utuh membuat Torees dan kolaboratornya dapat mempelajari (bagian) otak lebih jauh.

Dengan menggunakan CT-imaging data, para peneliti merekonstruksi dan membuat replikasi 3D otaknya yang disebut endocast. Para peneliti kemudian membandingkan endocast itu dengan replikasi 3D dari kerabat dinosaurus yang lebih jauh dan burung di zaman sekarang.

Para peneliti menemukan bahwa otak Ichthyornis memiliki banyak kesamaan dengan dinosaurus non unggas daripada burung hidup. Secara khusus, belahan otak yang memiliki fungsi kognitif seperti bicara, berpikir dan emosi seperti pada manusia, jauh lebih besar pada burung yang hidup daripada di Ichthyornis.

Menurut peneliti, pola itu menunjukan bahwa fungsi-fungsi tersebut dapat dihubungkan dengan kemampuannya bertahan dari kepunahan massal. “Jika fitur otak mempengaruhi kelangsungan hidup, kami berharap itu terdapat pada (mereka) yang selamat tetapi tidak (terdapat) pada korban, seperti Ichthyornis. Itulah yang kami lihat di sini,” kata Torres.

Pencarian tengkorak dari burung purba dan dinosaurus yang berkaitan erat itu telah menantang ahli paleontologi selama seratus tahun belakangan ini. Kerangka burung terkenal rapuh dan jarang bertahan dalam catatan fosil utuh dalam tiga dimensi. Tengkorak yang terpelihara dengan baik sangat langka, tetapi itulah yang dibutuhkan para ilmuwan untuk memahami seperti apa otak mereka dalam kehidupan.

Menurut Julia Clarke, Profesor di UT Jackson School of Geosciences dan salah satu peneliti studi ini, mengungkapkan pentingnya temuan ini. Fosil Ichthyornis, ungkapnya, membantu utuk menjawab beberapa pertanyaan terus-menerus tentang kehidupan burung dan kelangsungan hidup mereka di antara dinosaurus. “Ichthyornis adalah kunci untuk mengungkap misteri itu,” katanya.

Thursday, December 16, 2021

Singkap Rahasia Tersembunyi di Atmosfer Katai Putih yang ‘Terpolusi’

 Studi baru yang dilakukan ilmuwan terhadap eksoplanet berbatu, telah memberikan pemahaman baru tentang eksoplanet berbatu yang ternyata jauh lebih aneh dari yang diduga sebelumnya.

Studi astrogeologi tersebut dilakukan oleh astronom dari NOIRLab NSF yang bekerja sama dengan ahli geologi dari California State University, Fresno. Mereka menemukan bahwa sebagian besar eksoplanet berbatu di dekatnya sangat berbeda dengan apa pun di tata surya kita.

Jenis batuan yang ada di planet yang mengorbit bintang terdekat menjadi salah satu hal yang menarik perhatian para astronom. Setelah mempelajari komposisi kimia katai putih yang "terpolusi", mereka akhirnya menyimpulkan bahwa sebagian besar planet berbatu yang mengorbit bintang terdekat lebih beragam dan eksotis daripada yang diperkirakan sebelumnya, dengan jenis batuan yang tidak ditemukan di mana pun di tata surya kita.

Meskipun para astronom telah menemukan sekian banyak, bahkan, ribuan eksoplanet yang mengorbit bintang di galaksi kita. Namun, sangat sulit sekali untuk mengetahui komposisi planet-planet tersebut terbuat dari apa, dan apakah dari begitu banyaknya eksoplanet tersebut ada yang mirip dengan Bumi ataukah tidak.

Rasa penasaran ini yang mendorong mereka untuk mencari tahu.




 

Wednesday, December 15, 2021

Misterius, Ada Struktur Bentuk Piramida dan Titik Cahaya Cemerlang di Planet Kerdil Ceres


Para ahli astronom NASA dibuat mengerutkan keningnya lalu berfikir setelah ditemukannya titik cahaya di permukaan planet kerdil Ceres yang terletak di antara Mars dan Jupiter.

Para ilmuwan NASA dibuat bingung karena belum bisa menemukan pemicu munculnya titik cahaya itu. Bahkan hal ini menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan adanya kehidupan di planet itu.

Planet Kerdil atau Planet Katai atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Dwarf Planet bernama Ceres ini, sebenarnya adalah asteroid.

https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e5/Ceres_Cutaway.jpg/299px-Ceres_Cutaway.jpg

Planet Kerdil atau Planet Katai atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai Dwarf Planet bernama Ceres ini, sebenarnya adalah asteroid. (wikimedia)

Biasanya asteroid tak berbentuk bundar, namun Ceres berbentuk bundar seperti layaknya planet.

Ceres merupakan objek terbesar yang berada di dalam sabuk asteroid yang berada diantara planet Mars dan Jupiter.

Walau benda angkasa ini bundar menyerupai planet kecil, tapi Ceres tidak memenuhi kriteria sebagai planet.

Semuanya itu diindikasikan karena ukuran Ceres yang sangat kecil, bahkan jika kita melihat foto planet Ceres, sisi yang kita lihat hanya sebesar negara bagian Texas, Amerika Serikat.

Ceres ditemukan pertama kali oleh Giuseppe Piazzi pada 1 January 1801. Dalam penomoran asteroid modern, objek ini diberi nama 1 Ceres, untuk menunjukkan bahwa objek ini merupakan asteroid pertama yang ditemukan.

Titik Cahaya Misterius Diambil Oleh Wahana “Dawn” Milik NASA

Foto citra terbesar yang menunjukkan titik cahaya di Ceres ini diambil dari pesawat luar angkasa “Dawn” milik NASA, Badan Antariksa Amerika Serikat.

Dawn merupakan sebuah wahana antariksa yang diluncurkan oleh NASA pada 27 September 2007, untuk mempelajari dua benda yang paling besar dari sabuk asteroid, yaitu: protoplanet Vesta (Dawn memasuki orbit pada 16 Juli 2011) dan planet kerdil Ceres (Dawn memasuki orbit Februari 2015).

wahana nasa dawn orbiting planet ceres

Foto ilustrasi wahana antariksa “Dawn” milik NASA yang sedang mengorbit planet katai Ceres.

Dawn merupakan misi pertama NASA ke planet kerdil Ceres. Menurut NASA, Dawn berhasil mendekati Ceres pada 6 Maret 2015 lalu. Saat mencapai ketinggian 4.345 kilometer, Dawn mengambil gambar permukaan Ceres itu, yang menunjukkan titik cahaya misterius tersebut.

Selanjutnya, Dawn akan semakin mendekati permukaan Ceres. Hingga pada 30 Juni mendatang, Dawn diperkirakan berada di ketinggian 1.450 kilometer dari permukaan Ceres sehingga akan lebih jelas dalam mengamati titik cahaya misterius itu. Dawn menjadi pesawat ruang angkasa pertama yang mengunjungi Ceres dan mengorbit dua benda luar angkasa yang terpisah.

Titik Cahaya Terang Misterius Yang Cemerlang

Dalam foto yang diambil pada pada 9 Juni 2015 silam dari ketinggian lebih dari 4.300 kilometer, terlihat bahwa titik cahaya itu berada di atas sebuah kawah di permukaan planet gersang ini yang membentang sepanjang 90 kilometer .

dwarf ceres lights 02

Cahaya di permukaan planet katai Ceres (courtesy: NASA).

Dari foto tersebut juga terungkap, ternyata ada lebih banyak titik cahaya yang ditemukan dari yang awalnya diprediksi ilmuwan. Titik cahaya terbesar disebut membentang selebar 9 kilometer!

“Permukaan Ceres mengungkapkan banyak hal menarik dan unik. Contohnya, bulan-bulan dingin di luar sistem Tata Surya memiliki kawah dengan lubang pusat, tapi lubang pusat di kawah besar yang dimiliki Ceres lebih umum. Hal ini dan yang lainnya akan membuat kita memahami bagaimana struktur dalam Ceres yang tidak bisa kita rasakan secara langsung,” tutur Wakil Penyelidik pada misi Dawn, Carol Raymond.

Para ilmuwan berharap akan menemukan lebih banyak petunjuk untuk membongkar misteri titik cahaya ini dari foto-foto yang diambil Dawn.

dwarf ceres lights zoomed

Cahaya di permukaan planet katai Ceres (courtesy: NASA).

Ditemukan Ada Beberapa Titik Cahaya

Titik cahaya terlihat jelas ada di permukaan planet kerdil Ceres. Pemetaan yang dilakukan kendaraan luar angkasa NASA, Dawn dengan menggunakan infra merah berhasil mendeteksi adanya titik cahaya misterius. Dalam foto terbaru bahkan ada beberapa titik cahaya.

Dari foto-foto terbaru yang berhasil diambil Dawn menunjukkan lebih banyak titik cahaya yang ditemukan, dibanding yang awalnya diprediksi para ilmuwan. Dari beberapa titik cahaya itu, satu titik cahaya terbesar disebut membentang selebar 9 kilometer di permukaan planet kerdil Ceres.

Ditemukan Pula Objek Piramida Besar Yang Misterius

dwarf ceres pyramid 02

Struktur seperti piramid di permukaan planet katai Ceres (courtesy: NASA).

Selain mendeteksi keberadaan titik cahaya, kendaraan luar angkasa NASA, Dawn juga mendeteksi keberadaan gunung berbentuk mirip piramida setinggi 3 mil atau sekitar 4.8 kilometer di permukaan planet kerdil Ceres.

Dalam foto yang berhasil diambil Dawn, terlihat gunung itu membentang sepanjang 5 kilometer di permukaan Ceres.

Dalam foto lain yang diambil wahana kendaraan luar angkasa NASA Dawn dari sudut pandang berbeda, terlihat lebih jelas bahwa gunung berbentuk piramida itu memang memiliki permukaan yang lebih menonjol dari permukaan lainnya di planet kerdil Ceres.

Bagian di sekitar permukaan itu terlihat lebih datar dan lebih lembut. Foto yang diambil kendaraan luar angkasa NASA, Dawn juga menunjukkan secara luas permukaan planet kerdil Ceres.

Terlihat adanya sejumlah kawah dan fitur geologi lainnya yang bisa ditemukan di permukaan planet kerdil yang terletak antara Mars dan Jupiter ini.

dwarf ceres pyramid zoomed

Struktur seperti piramid di permukaan planet katai Ceres (courtesy: NASA).

Kemungkinan Adanya Makhluk Hidup

Ceres terdiri dari inti berbatu yang dilapisi oleh mantel ber-es. Terdapat indikasi bahwa Ceres mungkin memiliki atmosfer yang lemah dan mengandung es uap air di permukaan.

Es air di permukaan tidak stabil di jarak yang kurang dari 5 SA dari Matahari, sehingga es tersebut diduga akan menyublim (sublimasi, adalah perubahan wujud dari padat ke gas tanpa mencair terlebih dahulu) jika dipaparkan langsung ke radiasi matahari.

Es air dapat bermigrasi dari lapisan dalam ke permukaan, namun akan menguap dalam waktu yang sangat singkat. Akibatnya, melacak penguapan air bukanlah hal yang mudah. Air yang menguap dari wilayah kutub Ceres kemungkinan diamati pada awal tahun 1990-an, namun hal ini belum ditunjukkan secara jelas.

Meskipun tidak banyak dibicarakan sebagai tempat adanya kehidupan luar bumi seperti di Mars dan Europa, kemungkinan keberadaan es air memicu dugaan bahwa ada kehidupan di Ceres, dan bahwa buktinya dapat ditemukan dalam pecahan (ejecta) di Bumi yang mungkin berasal dari Ceres.

dwarf ceres pyramid 01

Struktur seperti piramid di permukaan planet katai Ceres (courtesy: NASA).

Masih Misterius

Temuan titik cahaya misterius di planet kerdil Ceres memicu berbagai spekulasi. Mulai dari dugaan adanya mineral tanda kehidupan, hingga spekulasi adanya kehidupan lain di planet kerdil tersebut.

Seperti dilansir news.com.au, Selasa (23/6/2015) lalu, sebenarnya titik cahaya yang cukup terang dan berwarna putih itu telah terdeteksi di permukaan planet kerdil Ceres sejak lama.

Para ilmuwan tengah berusaha memecahkan misteri titik cahaya itu selama 10 tahun terakhir, namun hingga kini belum juga berhasil. Para ilmuwan masih mempertimbangkan beberapa opsi pemicu titik cahaya itu.

planet Ceres anim animation

Ceres dwarft planet.

Namun sejauh ini, diyakini bahwa titik cahaya itu dipancarkan oleh material yang bersifat memantulkan cahaya, seperti es atau garam.

“Pemetaan infra merah Dawn yang jelas, memungkinkan para ilmuwan untuk mengidentifikasi keberadaan mineral di Ceres, dengan melihat bagaimana cahaya dipantulkan,” demikian bunyi pernyataan NASA.

“Setiap mineral memantulkan serangkaian gelombang panjang sinar infra merah dengan cara yang unik, dan hal ini membantu para ilmuwan untuk menentukan komponen Ceres,” imbuh pernyataan itu.

Teori lainnya menyebut titik cahaya itu berasal dari gunung berapi, atau geyser, semacam air mancur panas yang langka yang memuntahkan air ke atas.

Selama 10 tahun terakhir, para ilmuwan belum berhasil menemukan pemicu munculnya titik cahaya misterius itu. Foto citra terbaru yang diambil Dawn, kendaraan luar angkasa NASA pada awal Juni ini menunjukkan, titik cahaya itu masih tetap ada di permukaan Ceres untuk waktu yang lama. (news.com.au/ dawnblog.jpl.nasa.gov/ space.com/ wikipedia.org/ detik.com/ berbagai sumber)

 Pustaka:

– dawnblog.jpl.nasa.gov, Dawn Journal

– lionsgroundnews.com, Mysterious lights on Ceres: Doors of an alien space station?

Susunan planet di Tata Surya. Tampak lokasi planet katai CERES yang ditandai oleh panah berwarna kuning.

Susunan planet di Tata Surya. Tampak lokasi planet katai CERES yang ditandai oleh panah berwarna kuning.

dwarf ceres lights 01

Cahaya di permukaan planet katai Ceres (courtesy: NASA).

dwarf ceres pyramid 03

Struktur seperti piramid di permukaan planet katai Ceres (courtesy: NASA).

piramid ceres zoomed

Struktur seperti piramid di permukaan planet katai Ceres (courtesy: ICC).

cahaya dan struktur piramid di planet dwarf ceresceres-protoplanet-dawn