Saturday, May 14, 2022

Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita


Bahtera-bahtera yang karam menjadi bukti terdekat tentang keberadaan Jalur Rempah. Sanggupkah kita memuliakannya?
Nationalgeographic.co.id—Saat berkunjung ke Lampung, saya mendapat hibah dari seorang sahabat: selembar tapis nan rapuh. Wastra itu menampilkan enam perahu yang mengangkut manusia dan satwa. Usianya lebih dari seabad. Mungkinkah tentang kedatangan komunitas Austronesia yang berperahu ke Nusantara?

Perahu sudah menjadi bagian penting bagi masyarakat pesisir. Betapa tidak, hampir semua kawasan kepulauan kita dapat dijangkau perahu. Negeri ini mendapat pasokan pergantian angin musim barat laut dan barat daya setiap periode enam bulan. Semesta mendukung Nusantara dalam perkembangan teknologi maritim untuk memasuki abad-abad perniagaan rempah.

Nicolo dei Conti (1395- 1469), pedagang Venesia yang 25 tahun menjelajahi di Asia Tenggara, menggambarkan kapal kargo Jawa yang memiliki ukuran lebih besar daripada kapal terbesar milik Portugis Flor de La Mar. Pierre-Yves Manguin, Profesor Emeritus di Ecole française d’ExtrĂªme-Orient (EFEO) menulis tajuk “Orang Laut” di Indonesian Heritage. “Hampir 2.000 tahun lamanya orang Indonesia barat ikut serta dalam jaringan perdagangan maritim Asia dan membangun sederet tradisi perkapalan.”

Jalur Sutra Laut dan Jalur Rempah Nusantara telah menautkan pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok, Arab, Laut Merah, hingga Madagaskar pada milenium pertama sebelum masehi. Sampai abad ke-13 dan ke-14, ungkap Manguin, kapal-kapal berukuran besar dengan jalinan papan telah digunakan dalam perdagangan Nusantara.

Pendapatnya ini mengacu pada temuan arkeologi dan catatan kuno. Setelah periode itu perdagangan cenderung menggunakan kapal-kapal kargo berukuran lebih kecil, yang disebut jong. “Nama jong,” ungkapnya, “istilah setempat yang kemudian melahirkan kata junk dalam bahasa-bahasa Eropa.”

Di Pulau Bintan pada 1988, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) bersama EFEO mengekskavasi repihan kapal dagang dari akhir abad ke-15. Lambung kapal ini hanya terdiri atas satu lapisan papan. Ketika papan ini rapuh, lapisan papan berikutnya ditambahkan. Kapal yang sungguh sederhana—jauh dari imaji relief Borobudur.

Dua dekade berikutnya Balai Arkeologi Yogyakarta dan EFEO mengkaji temuan kapal di Desa Punjulharjo, pesisir Rembang, Jawa Tengah. Manguin menyimpulkan bahwa perahu ini dibuat dengan teknik pembuatan kapal tradisional asli Asia

Tenggara. Dari bagian tali, mereka meyakini kapal itu berasal dari abad ke-7 hingga abad-8. Inilah kapal berteknologi Asia Tenggara tertua yang kita punya.

Dalam Atlas Pelabuhan Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, Sejarawan FIB-UI Didik Pradjoko dan Arkeolog Maritim Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo, memaparkan ciri khas teknologi perahu dalam tradisi Asia Tenggara. Lambung perahu berbentuk “V” sehingga bagian lunasnya berlinggi; haluan dan buritan simetris; tidak ada sekat-sekat kedap air di lambung; dan kemudi ganda.

Perahu dalam tradisi Asia Tenggara tidak memerlukan paku besi. Ada bagian papan yang menonjol dengan empat lubang yang dinamakan tambuko. Lewat lubang-lubang itu tali ijuk dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan yang lain. Teknik penyambungan ini dikenal dengan “teknik papan ikat dan kupingan pengikat”.

Di sisi lain, kapal Tiongkok memiliki tradisi lambung yang dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan memiliki kemudi tunggal di palang rusuk buritan. Pembangunannya menggunakan paku besi.

Jalur Rempah merupakan rute pelayaran nan berbahaya menuju kepulauan rempah. Ada kapal yang kembali ke pelabuhan asalnya, tetapi ada pula yang hilang tak diketahui rimbanya.

Pada abad ke-9, ketika pendeta-pendeta India merampungkan pembangunan Candi Borobudur di pedalaman Jawa, salah satu kapal pedagang Arab mengalami kemalangan. Ia karam di dasar Selat Gaspar, antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung.

Setelah bersemayam lebih dari seribu tahun, kapal ini mulai tersingkap pada 1998. Inilah kapal Arab pertama yang ditemukan di Asia Tenggara. Situsnya dikenal sebagai “Belitung Wreck”.
Ketika para penyelam menyingkap repihannya, mereka menemukan lebih dari 60.000 keping emas, perak, dan mangkuk keramik Dinasti Tang. Dari ribuan mangkuk, salah satunya memiliki angka tahun, yang semasa dengan 826 Masehi.

Simon Worrall melaporkan temuan kapal itu untuk National Geographic, Juni 2009. Boleh jadi, kapal ini berangkat dari Guangzhou menuju asalnya di Teluk Persia. Komoditas yang dibawa tampaknya dibuat sesuai pesanan. Ragam hiasnya kosmopolit: corak lotus Buddha asal Asia Tengah; ragam geometris Al-Qur’an untuk pasar Muslim; dan satu mangkuk bercorak lima garis vertikal, yang ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai simbol Allah.

Masih di dasar Selat Gaspar, terdapat situs Kapal Tek Sing. Kapal kargo asal pelabuhan Amoy ini hendak berlayar menuju Batavia, namun menabrak karang sehingga karam pada 1822. Ia mengangkut 1.500 imigran Tiongkok—hanya 180 orang selamat.


Pada 1999, keberadaan kapal ini tercium oleh pemburu harta karun asal Inggris. UNESCO melaporkan bahwa lebih dari 350.000 buah keramik telah diangkut lalu dilelang oleh Nagel Auction di Stuttgart, Jerman pada 2000. Karamnya Tek Sing menjadi salah satu bencana terbesar dalam sejarah pelayaran dunia, sekaligus muatan terbesar dalam sejarah temuan kapal Tiongkok. Kini, amblasnya jejak repihan itu mencerminkan masa depan Indonesia yang terjarah.

Shinatria Adhityatama dan Priyatno Hadi Sulistyarto dari Puslit Arkenas meneliti kapal karam di perairan Pulau Natuna dan Pulau Bintan. Penelitian mereka terbit di Jurnal Segara edisi Desember 2018. Menurut mereka, kawasan perairan Kepulauan Riau merupakan lokasi strategis karena menautkan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka “tidak kalah ramainya dengan perairan Mediteranian.”

Penelitian mereka di Situs Tanjung Renggung, perairan Bintan, menemukan kapal Nusantara atau Asia Tenggara yang membawa komoditas keramik asal Tiongkok—tempayan, mangkuk, piring, buli-buli, guci berglasir yang berwarna hijau seladon khas Dinasti Song Selatan (1127-1279)—mirip kasus Situs Cirebon. “Ini membuktikan bahwa kapal-kapal lokal kita berperan dalam distribusi,” ujar Shinatria, “tidak selalu kapal-kapal asing yang masuk.”

Perairan Asia Tenggara memiliki sebaran situs kapal kuno yang karam. Sayangnya, “justru situssitus kapal di sekitar kepulauan rempah belum banyak dieksplorasi,” imbuhnya, “padahal itu sentralnya.” Dia menambahkan bahwa untuk mempelajari Jalur Rempah dalam perspektif maritim, kita “perlu mempelajari situs-situ kapal karam karena itu adalah bukti langsung dari aktivitas perniagaaan maritim.”

Pada 2016, pemerintah menegaskan bahwa pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) tertutup untuk bidang investasi. Namun, pada 2021, pemerintah membuka kesempatan bagi para investor untuk mencari BMKT.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, membenarkan adanya kecenderungan untuk mereduksi benda cagar budaya bawah air sebagai komoditas.

“Sebetulnya, secara legal, secara hukum, nggak ada yang salah dengan menjual-belikannya,” ujar Hilmar. “Tapi, kalau kemudian semata-mata ini disamakan dengan "barang komoditi lain pada umumnya, tentu itu sangat disayangkan. Dan, jelas itu bukan tujuan utamanya.”

Bambang Budi Utomo mengatakan, “Benda cagar budaya bawah air merupakan dilema.” Pemerintah membutuhkan dana besar untuk menjaga cagar budaya bawah air ini. Namun, dia mewanti-wanti bila kita kembali membolehkan investor untuk mengangkatnya. Pengalaman membuktikan bahwa kita seringkali “dicurangi” dan “dirugikan.” Temuan BMKT harus dianggap sebagai cagar budaya dan diteliti. “Jadi bagaimanapun barang-barang itu mengandung nilai sejarah dan budaya Indonesia.”